PERMASALAHAN PENDIDIKAN
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia
unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan
tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai
permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual
beserta cara penanggulangannya.
A. PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN
Sistem pendidikan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat
sebagai supra sistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron
dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai
sistem dengan sistem social budaya sebagai supra sistem tersebut dimana sistem
pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga
permasalah intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu
permasalan intern di dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan
masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya ada dua permasalahan
pokok pendidikan yang kita hadapai saat ini, yaitu:
a.
Bagaimana semua warganegara dapat menikmati kesempatan
pendidikan.
b.
Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan
keterampilan kerja yang antap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan
bermasyarakat.
B. JENIS PERMASALAH POKOK PENDIDIKAN
Masalah pokok
pendidikan yang menjadi kesepakatan nasional yang perlu diprioritaskan
penanggulangannya ada empat macam yaitu:
1.
masalah pemerataan pendidikan
2.
masalah mutu pendidikan
3.
masalah efisiensi pendidikan
4.
masalah relevansi
pendidikan.
1. Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem
pendidikan dapt menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh
warganegara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumberdaya manusia
untuk menunjang pembangunan.
Pada masa awalnya,
ditanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan di dalam
undang-undang No.4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah Bab XI, Pasal 17, yang berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak yang
sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang
ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab. VI, Pasal
10 Ayat 1, yang berbunyi:
Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah
berumur 8 tahun diwajibkan belajaar disekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat
2, menyatakan: belajar disekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan yuridis
pemerataan pendidikan itu penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan
upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketertinggalan kita akibat
penjajahan. Berikut ini gambaran bagaimana perkembangan dunia pendidikan di
Negara kita beberaap tahun terakhir:
Dari data tersebut
diatas dapatlah diketahui bagaimana besarnya dorongan masyarakat untuk
memperoleh kesempatan menikmati pendidikan bagi anak-anak mereka serta
meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang di alami oeh anak didiknya.
Masalah pemerataan
memperoleh dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh
kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan
membaca, menutis dan berhitung, sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan
kemajuan melalui berbagai media massa
dan sumber belajar yang tersedia
baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen.
Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Khusus untuk
pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap
jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh
kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor
kuantitatif dan kualitatif serta relevansi dan yang selalu ditentukan
proyeksinya secara terus menerus dengan seksama. Kemudian melalui jalur
pendidikan luar sekolah usaha pemerataan pendidikan mengalami perkembangan
pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu perkembangan iptek yang menawarkan
berbagai macam alternatif, dan dianutnya konsep pendidikan sepanjang hidup yang
tidak membatasi pendidikan hanya sampai pada usia tertentu dan tidak terbatas
hanya pada penyediaan sekolah.
Pemecahan
Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah tentang pemerataan pendidikan ini dapat dipecahkan dengan dua cara, yaitu dengan cara konvensional dan cara inovatif.
Cara konvensional antara lain:
a.
Membangun
gedung sekolah seperti SD Inpres,dan atau ruangan belajar,
b.
Menggunakan
gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu
yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membanngkitkan
kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan
anaknya.
Cara inovatif antara lain:
a.
Sistem
Pamong (Pendidikan oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru) atau
INPACT System (Instructional Managemant by Parent, Community and Teacher).
Sistem tersebut dirintis di Solo dan didesimenasikan ke beberapa propinsi.
b.
SD kecil
pada daerah terpencil
c.
Sistem
Guru Kunjung
d.
SMP
Terbuka (ISOSA – In School out off School Approach)
e.
Kejar
Paket A dan B
f.
Belajar
Jarak Jauh seperti Universitas Terbuka.
2. Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu
pendidikan. Penetapan mutu hasil
pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai proodusen tenaga
terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran
tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dillakukan oleh lembaga pemakai
sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test).
Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/pemagangan bagi calon pekerja
untuk penyesuaian dengan tuntutan
persyaratan kerja di lapangan.
Jadi mutu pendidikan
pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Denggan kata lain apakah
luaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri dan lingkungannya. Kualitas luaran seperti itu disebut dengan
nurturant effect. Meskipun disadari bahwa pada hakekatnya produk dengan
ciri-ciri seperti itu tidak semata-mataa hasil dari sistem pendidikan sendiri.
Tetapi jika terhadap produk seperti itu system pendidikan dianggap mempunyai
andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan adalah bahwa cara pengukuran
mutu produk tersebut tidaklah mudah.
Pada hasil belajar
yang bermutu hanya mungkin dicapai melaui proses belajar yang bermutu. Jika
proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya proses belajar
yang bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal menghasilkan hasil ujian
yang tidak baik maka dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu.
Ini berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletak pada
masalah pemerosesan pendidikan.
Masalah mutu
pendidikan juga mencakup masalah
pemerataan mutu. Di dalam TAP MPR RI 1988 tentang GBHN dinyatakan bahwa
titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap
jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan
khususnya untuk memacu penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi perlu disempurnakan dan di tingkatkan pengajaran ilmu
pengetahuan alam dan matematika. (BP-7 Pusat.1989:68). Umumnya kondisi mutu
pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya didaerah
terpencil lebih rendah dari pada di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan
mutu pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan
dengan segala jenis dan jenjangnya diseluruh pelosok tanah air (kota dan desa)
mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya
masing-masing.
Pemecahan
Masalah Mutu Pendidikan
Upaya pemecahan masalah
mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan
perangkat lunak, personalia dan manajemen sabagai berikut:
a.
Seleksi
yang lebih rasional terhadap masukan mentah (raw input), khususnya untuk
SMA/SMK Sederajat dan Perguruan Tinggi.
b.
Pengembangan
kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut latihan, penataran, seminar,
kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
c.
Penyempurnaan
kurikulum (materinya yang essensial dan sesuai dengan mengandung muatan lokal),
metode yang menantang dan menggairahkan belajar, evaluai berancuan PAP.
d.
Pengembanggan
prasarana yang menciptakan lingkungan yang tentram untuk belajar.
e.
Penyempurnaan
sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan
praktek/lab.
f.
Peningkatan
administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
g.
Kegiatan
pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:
1)
Laporan
penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan.
2)
Supervisi
dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas.
3)
Sistem
ujian nasional/Negara seperti UAN dan lain-lain.
4)
Akreditasi
terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga.
3. Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efesiensi
pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan
sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Beberapa masalah dalam kaitannya dengan
efisiensi pendidikan antara lain:
a.
Bagaimana
memfungsikan tenaga pendidikan.
b.
Bagaimana sarana dan prasarana pendidikan digunakan.
c.
Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d.
Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah-masalah
tersebut diatas meliputi pengangkatan, penempatan dan pengembangan tenaga.
Masalah penempatan terletak
pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan
yang sangat terbatas. Pada masa beberapa tahun terakhir ini, kita ketahui
bersama bahwa ada ribuan sarjana yang di wisuda tiap tahunnya, sedangkan
pengangkatan mereka hanyalah 20 persen saja dari jumlah seluruhnya. Dengan
demikian berarti lebih dari 80 persen tenaga yang tersedia tidak difungsikan.
Ini berarti pemubasiran terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga
tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian (belum terjadi rate of
return). Sebab tenaga kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk
berwirausaha.
Masalah penempatan
guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincangan,
tidak disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Hal ini dikarenakan terkadang
kebutuhan akan guru yang memegang studi A, namun terkadang guru yang
didatangkan dan ditempatkan justru guru yang memegang studi B, begitu pun
sebaliknya.
Masalah pengembangan
tenaga kependidikan dilapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat
menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap hadirnya kurikulum yang baru
menuntut ada penyesuain dari pendidik, namun memerlukan proses pembekalan
pendidik yang cukup memakan waktu. Akibatnya terjadinya kesenjangan antara dicanangkan berlakunya kurikulum dengan saat
mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan
berlangsung kurang efisien dan efektif.
Kemudian beralih ke
masalah penggunaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak effisien bisa
diakibatkan antara lain karena kurang matangnya perencanaan dan sering juga
karena perubahan kurikulum.
Salah satu contohnya
adalah pasca kemerdekaan RI dan dimulainya perkembangan di dunia pendidikan
Indonesia terdapat banyak pemborosan dari saran dan prasarana pendidikan.
Banyak sekolah terutama SD Inpres yang tidak tepat letaknya dari sekolah
tersebut. Gejala lain tentang tidak ada efisiensi dalam penggunaan sarana
pendidikan yaitu diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa
dibarengi dengan pembekalan kemampuan, sikap dan ketrampilan calon pemakai,
ataupun tanpa dilandasi dengan konsep yang jelas.
Perubahan kurikulum
sering membawa akibat tidak terpakainya lagi buku paket siswa dan buku pegangan
guru besarta perangkat lainnya karena harus diganti dengan buku-buku yang
baru.belim lagi terhitung biaya-biaya penataran para pelaksan pendidikan
dilapaangan, khususnya guru-guru agar siap melaksanakan kurikulum yang baru.
Semua ini
menggambarkan bahwa dibalik pembaharuan terjadi pemborosan, meskipun sukar
dielakkan. Sebab bagaimanapun juga pembaharuan kurikulum merupakan tindakan
antisisasi terhadap pemberian bekal bagi calon luaran agar sesuai dengan tujuan
zaman.
4. Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi
pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran
yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat
mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang
potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja,
maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi
sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang
kerjaan yang ada antara lain sebagai berikut.
a.
Status lembaga
pendidikan yang bermacam-macam
kualitasnya.
b.
Sistem
pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran yang siap pakai. Yang ada ialah
siap kembang.
c.
Tidak tersedianya peta kebutuhan
tenaga kerja dengan persyaratannya yang digunakan sebagai pedoman oleh
lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya.
Umumnya luaran yang
diproduksi oleh sistem pendidikan (lembaga yang menyiapkan tenaga kerja)
jumlahnya secara kumulatif lebih besar dari pada yang dibutuhkan dilapangan.
Sebaliknya ada jenis-jenis tenaga kerja yang dibutuhkan di lapangan kerja
kurang di produksi atau nahkan tidak diproduksi. Keadaan tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Luaran
(produksi tenaga kerja)
(L)
|
Kebutah
tenaga di lapangan
(K)
|
Keterangan
|
|
L
|
>
|
K
|
Keadaan
umumnya lembaga pendidikan
|
L
|
<
|
K
|
Beberapa
bidang
|
L=0
|
K
(sangat
membutuhkan)
|
Bidang
tertentu
|
Jika produksi (L)
tenaga dikaitkan dengan kebutuhan (K) dan pengangkatan (P), maka gambaran
umumnya adalah sebagai berikut: L>K>P. Artinya jumlah luaran lebih besar
dari pada yang dibutuhkan dan jumlah kebutuhan lebih besar dari pada
pengangkatan, dengan akibat bahwa setiap tahunnya selalu terjadi penumpukan
tenaga kerja yang menunggu pekerjaan. Dapat disimpulkan bahwa masalah relevansi
merupakan masalah yang berat untuk dipecahkan, khususnya masalah relevansi
kualitas.
Dari keempat macam
masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika pendidikan:
1)
Dapat
menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya: semua warga Negara yang
butuh dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
2)
Dapat
mencapai hasil yang bermutu, artinya: perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat
dicapai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3)
Dapat terlaksana secara efisien, artinya:
pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan tujuan yang ditulis dalam
rancangan.
4)
Produk
yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendidikan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Hal tersebut diatas dapat diilustrassikan sebaagai gambar
yang tertera berikut ini:
HASIL
PENDIDIKAN |
TUJUAN
PENDIDIKAN |
RANCANGAN
PENDIDIKAN |
RELEVANSI
4
|
WARGA
NEGARA
(masukan mentah pendidikan) |
PROSES
PENDIDIKAN |
KEBUTUHAN
MASYARAKAT
|
MUTU
2
|
PEMERATAAN
1
|
3 EFFESIENSI
|
Gambar
4.1
|
C. SALING KETERKAITAN ANTARA MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN
Pada dasarnya pembangunan
di bidang pendidikan tentu diinginkan tercapainya pemerataan pendidikan dan
juga pendidikan yang bermutu sekaligus. Didalam sejarah terbukti bahwa belum
ada suatu Negara yang dari sejak berdirinya mampu melaksanakan dan memenuhi
keinginan seperti itu. Lazimnya, yang terjadi ialah pada saat upaya pemerataan
pendidikan sedang dilancarkan, maka pada saat yang sama mutu pendidikan belum
dapat diwujudkan, malahan sering tertelantarkan.
Ada dua faktor penghambat perbaikan mutu pendidikan yaitu: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani
pemerataan kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan
pengarahan dana dan daya.
Faktor kedua, kondisi satuan-satuan pendidikan
pada saat demikian mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam
kelas terlalu banyak, tenaga pendidik kurang kompeten, sarana yang tidak
memadai, dan seterusnya.
Pada dasarnya hal-hal
yang menghambat seperti faktor-faktor diatas umunya terjadi pada tahap-tahap
awal dari pembangunan suatu bangsa. Pada saat ini kita dapat melihat
contoh-contoh seperti yang terjadi pada Negara di beberapa kawasan Afrika. Di
Negara kita pasca kemerdekaan perhatian masih dicurahkan pada upaya perluasan
pendidikan, dan hingga kini hal tersebut masih dilakukan namun dalam skala yang
lebih kecil. Karena peningkatan di bidang mutu pendidikanlah yang sekarang
menjadi prioritas utama pemerintah.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERKEMBANGNYA MASALAH
PENDIDIKAN
Faktor-faktor
yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan antara lain: perkembangan
iptek dan seni, laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan
keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan.
1.Perkembangan
IPTEK dan Seni
a. Perkembangan IPTEK
Terdapat
hubungan yang erat antara pendidikan tentang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara system dan dan
terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang
direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Hampir setiap
inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu
pasti membawa hasil. Kita sudah banyak mendapat pengalaman dalam hal ini.
Kedua, pada darsarnya orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru.
Umumnya lebih suka mengerjakan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan rutin pada
dapat menerima hal baru yang belum dikenal.
Masalahnya
iyalah bagaimana cara memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya.
Setiap inovasi mengan dung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide,
cita-cita, prinsip-prinsip) dan aspek stuktur oprasional (teknik
pelaksanaannya). Kepada masyarakat sasaran perlu dikenalkan aspek
konsepsionalnya sehingga memahami tujuan dan manfaatnya, motif yang
mendasarnya.
Lazimnya suatu
inovasi baru disebarkan setelah lebih dahulu diuji cobakan dalam ruang lingkup
terbatas. Masalah pertama muncul padatahap uji coba, karena biasa memakan biaya
(contoh PPSP : Perintis Sekolah Pembangunan pada 8 IKIP sekitar tahun 80-an).
Selanjutnya
masalah muncul pada tahap penyebar luasan pelaksanaan hasil uji coba
(disiminasi). Pada tahap ini masalah mencakup banyak hal. Dana, penyediaan
prasarana dan sarana, ketenagaan, kurikulum beserta perangkat penunjangnya dan
seterusnya merupakan factor-faktor yang dapat menimbulkan masalah. Bahkan jika
seandainya suatu inovasi berhasil, munkin saja menimbulkan masalah baru, misalnya
antara lain karena kurang cermatnya rancangan yang dibuat. Contoh Prof. Diploma
berhasil dapat memproduksi tenaga guru yang diharapkan, tetapi, berakibat
alumni S1 banyak tidak terangkat karena ketiadaan jatah.
b. Perkembangan Seni
Kesenian
merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang
menhasilkan sesuatu hal Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara
individual ataupun kelompok yang menhasilkan sesuatu hal yan indah.
Berkesenian
menjadi kebutuhan hidup manusia. Melalui kesenian maanusia dapat menyalurkan
dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) daan
dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Seni membutuhkan pengembangan.
Dilihat dari
segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian
mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan efektif
khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping
domain konigtif yang sudah digarap melalui program atau bidang studi yang lain.
Dilihat dari
lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabang telah mengalami
perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan
memperhatikan alasan-alasan di atas maka sudah seyogyanya jika dunia seni
dikembangkan melalui system pendidikan secara terstruktur dan terprogram.
Pengembangan kualitas seni secara program-program yang lain dalam system pendidikan.
Disinilah timbulnya masalah pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu
penting tetapi di sekolah -sekolah saat
ini menduduki kelas dua. Baru terlayani setelah program studi yang lain
terpenuhi pelayanannya. Sebabnya disamping kesenian tidak termasuk Ebtanas,
juga sulit menyediakan tenaga pendidikan. Lagi pula sarana penunjangnya umumnya
tidak tersedia secara menendai karena mahal.
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
Masalah kependudukan dan kependidikan
bersumber pada 2 hal yaitu:
a. Pertambahan penduduk dan
b. Penyebaran penduduk
a. Menurut Emil Salim (Conny R. Semiawan, 1991 :
18)
Pertambahan penduduk gambarannya sebagai
berikut:
Dari sekarang hingga abad XXI, terus menerus
penambahan penduduk akan terjadi pertambahan jumlah penduduk meskipun gerakan
KB berhasil. Sebabnya karena tingkat kematian menurun lebih cepat yaitu sebesar
4,5% dari turunnya tingkat kelahiran yaitu sebesar 3,5%. Hal tersebut juga
mengakibatkan berubahnya susunan umur penduduk tentang pertumbuhan penduduk itu
Bank Dunia memperkirakan gambaran seperti terlihat pada tabel dibawah ini.
TABEL
PRKIRAAN
JUMLAH PENDUDUK
MENURUT
BANK DUNIA
PADA
PERTENGAHAN ABAD XXI
|
||||
Tahun
|
1986
|
1990
|
2000
|
2050
|
Penduduk
(juta orang)
|
166
|
178
|
207
|
335
|
Disadur
dari: Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991 :18.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka
penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang
terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dan ini berarti beban pembangunan
nasional menjani bertambah.
Pertambahan penduduk yang di barengi dengan
meningkatnya usia rata-rata, penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya
struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia Sekolah Dasar menurun,
sedangkan proporsi penduduk usia lanjutan, ankatan kerja, danpenduduk usia tua
meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi
pergeseran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan
cendrung lebih meningkat disbanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah
dasar. Sebagai akibat lanjutan, maka permintaan untuk lanjut ke perguruan
tinggi juga meningkat. Khusus untuk penduduk usia tua yang jumlahnya meningkat
perlu disediakan pendidikan non formal.
b. Penyebaran penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh tanah air tidak
merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama dikota-kota besar dan daerah
yang penduduknya jarang yaitu daerah pedesaan atau pedalaman khususnya didaerah
terpencil yang berlokasi di pegunungan. Sebaran penduduk yang tidak merata itu
menimbulkan kesulitan dalam penyedian sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah
dibangunnya SD kecil untuk melayani kebutuhan pendidikan di daerah-daerah
terpencil. Disamping itu juga perlu diperhitungkan adanya arus perpindahan
penduduk dari kota ke desa (urbanisasi) yang terus menerus terjadi. Peristiwa
ini menimbulkan pola yang dinamis dan labil yang lebih menyulitkan perencanaan
penyediaan sarana pendidikan. Pola labil ini juga merusak pola pasaran kerja
yang seharusnya menjadi acuan dalam pengadaan tenaga kerja.
3. Aspirasi Masyrakat
Dalam beberapa tahun terakhir ini asprasi
masyarakat dalaam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap hidup yang
sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi meningkatnya
aspirasi terhadap pendidikan. Orang mulai melihat bahwa untuk dapat hidupyang lebih
layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang menopang, dan pendidikan
memberikan jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan menetap itu.
Pendidikan dianggap memeberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan
pendakian di tangga sosial.
Pekembangan aspirasi tersebut khususnya di
bidang pendidikan menimbulkan beberapa
hal yakni salah satunya adalah seleksi penerimaan siswa pada bebagai jenis dan
jenjang pendidikan menjadi kurang obyektif, jumlah murid perkelas menjadi
melebihi dari yang semestinya, jumlah kelas disetiap sekolah membengkak,
kesempatan belajar bergilir di pagi dan sore hari dengan pengurangan jam
belajar, kekurangan sarana belajar, kekurangan guru dan seterusnya. Dampak
langsung dan tidak langsung dari kondisi itu adalah terjadinya penurunan kadar
efektifitas pembelajaran sehingga sulit diharapkan hasil yang berkualitas.
Dengan kata lain, massalisai pendidikan menghambat upaya pemecahan masalah mutu
pendidikan. Massalisai pendidikan ibarat perusahaan konveksi pakaian yang hanya
melayani tiga macam ukuran (Large, Medium, and Small), sedangkan kebutuhan
individual yang khusus tidak terlayani.
Namun demikian tidak berarti bahwa aspirasi
terhadap pendidikan harus diredam, justru sebaliknya harus tetap ditingkatkan,
utamanya pada masyarakat yang belum maju dan masyarakat didaerah terpencil,
sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda kemajuan.
4. Keterbelakangan budaya dan sarana
kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah
yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju)
terhadap masyarakat lain pendukung suatu budaya. Sesungguhnya tidak ada
kebudayaan yang secara mutlak statis, mandeg, tidak mengalami perubahan.
Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya
secara utuh. Tidak ada kebudayaan yang tidak berubah. Berubahnya unsur-unsur
kebudayaan kebudayaan itu tidak selalu bersamaan satu sama lain. Ada unsur yang
lebih cepat dan lambat laun berubah, namun yang jelas terjadinya perubahan
tidak pernah terhenti sepanjang masa, bahkan meskipun perubahan kea rah yang
baru itu berunsur negatif. Apalagi pada abad ke-20 ini, dimana perkembangan
iptek demikian pesat dan merambah ke seluruh bidang kehidupan.
Perubahan kebudaan terjadi karena adanya
penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan
baru itu baik yang berupa material (peralatan dan transportasi) dan yang
bersifat non material (pemahan dan konsep akan hal yang diyakini seperi KB,
budaya menabung dan sebagainya). Keterbelakangan budaya terjadi karena:
-
Letak
geografis tempat tinggal suatu masyarakat (seperti didaerah terpencil).
-
Penolakan
masyarakat terhadap datangnya unsur budaya baru karena tidak dipahami atau
dikhawatirkan akn merusak sendi masyarakat.
-
ketidakmampuan
masyarakat secara ekonomis untuk menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan
faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
-
Masyarakat
daerah terpencil.
-
Masyarakat
yang tidak mampu secara ekonomis.
-
Masyarakat
yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok
masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan dalam pembangunan.,
sebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya
ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaiman cara menyediakan
sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka.
Sebab sistem pendidikan yang tangguh adalah yang bertumpu pada kebudayaan
nasional. Kebudayaan nasional selalu berkembang dengan bertumpu pada intinya
sehingga tidak pernah ketinggalan zaman. Jika sistem pendidikan dapat menggapai
masyarakat terbelakang kebuayaannya berarti melibatkan mereka untuk berperan
serta dalam pembangunan.
E. PERMASALAHAN
AKTUAL PENDIDIKAN DAN PENANGGULANGANNYA
1.
Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
Permasalahan
aktual pendidikan di Indonesia sangat kompleks dan semakin berkembang sejalan
dengan perkembangan zaman dan kemapanan sumber daya manusia. Masalah aktual tersebut ada yang mengenai
konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Perlu dipahami bahwa tidak semua
masalah aktual tersebut merupakan masalah baru, bahkan ada yang sudah sangat
lama. Sudah sejak lama aktual tersebut sepakat untuk diatasi, tetapi dari tahun
ke tahun hasilnya belumlah memberikan perubahan atau bahkan malah diam
ditempat. Adapun masalah-masalah tersebut antara lain:
a.
Masalah Keutuhan Pencapaian sasaran
Didalam Undang-Undang
No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 telah
dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan manusia
Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci didalam GBHN 1993
butir 2a,b, tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud manusia utuh
itu adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan
vertikal (dengan Tuhan Yang Maha esa), horizontal (dengan lingkungan dan
masyarakat), dan konsentris (dengan dirinya sendiri; yang berkembang antara
duniawi dan ukrawi. Namun didalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum
ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah pada pengutamaan pengembangan
aspek kognitif. Pengembangan daya fikir dinomor satukan, sedangkan pengembangan
perasaan dan hati terabaikan. Padahal pengembangan perasaan dan hati adalah
agar dapat memahami nilai-nilai, tidak cukup hanya berkenalan dengan
nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan mengalami peserta didik di
buka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri,
kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, penghargaan
diri terhadap waktu dan atasan kerja, kegairahan didalam belajar, kedisplinan,
kesetia kawanan sosial, dan semangat kebangsaan.
Masalahnya, apakah
sistem pendidikan kita memberi peluang demi terjadinya pengalaman-pengalaman
tersebut. Kelitahannya banyak hambatan yang harus dihadapi antara lain:
1) Beban kurikulum yang terlalu sarat.
2) Pendidikan afektif sulit diprogramkan secara
eksplisit, karena dianggap bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) yang terlaksananya sangat tergantung pada kemahiran dan pengalaman
guru. Jika terjadi perubahan tingkah laku afektif maka semata-mata adalah hasil
atau dampak dari proses pengiring dan bukan dampang langsung dari proses proses
pembelajaran yang didesain.
3) Pencapaian hasil pendidikan afektif memakan
waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran dari pendidik.
4) Menilai pendidikan afektif tidak mudah.
Bahkan jika ingin berhasil, juga membutuhkan biaya. Misalnya jika menginginkan
suatu pembelajaran itu efektif, seorang guru memberikan tugas membuat suatu
karya, maka hal tersebut memberikan beban biaya yang lebih kepada murid.
Maka disinilah letak
masalahnya jika sasaran pendidikan yang utuh ingin dicapai.
b.
Masalah Kurikulum
Masalah kurikulum
meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Yang menjadi sumber masalah
ini ialah bagaimana sistem pendidikan dapat membekali peserta didik untuk
terjun kelapangan kerja (bagi yang tidak melanjutkan sekolah) dan memberikan
bekal dasar yang kuat untuk ke Perguruan Tinggi (bagi yang ingin melanjutkan).
Konsep terbut memang bagus secara teoritis, namun pelaksanaannya mengundang
banyak masalah. Titik rawan yang timbul antara lain bagaimana mempersiapkan
para pelaksana dan Pembina pendidikan dilapangan khususnya guru agar mampu
melaksanakan ketrampilan proses dalam pembelajaran. Ini bukan persoalan yang
mudah, karena merupakan soal perubahan sikap dan kketrampilan dalam
pembelajaran. Pembenahannya memerlukan penataran, penyuluhan, bimbingan secara
kontinu dari para Pembina pendidikan serta tenaga ahli, kesemuanya itu berarti
beban biaya.
Kemudian konsep
tentang ko dan ekstra kita disamping yang kurikuler secara terpadu dan
terprogram adalah pula konsep yang bagus dan mendasar karena disamping
mengkaitkan kualitas pendidikan afektif juga menghilangkan tembok pemisah
antara sekolah dan masyarakat yang selama ini membelenggu sekolah sehingga
asing dari masyarakatnya.
Sekalipun demikian
tetap disadari bahwa pelaksanaanya tidak mudah dan cukup rumit. Kerumitan-kerumitan iti antara lain:
-
Pemilihan
materi yag tepat di suatu daerah (materi muatan lokal).
-
Penyusunan
program (disajian secara monolitik atau integratif), juga menentukan
pihak-pihak yang telibat dalam pelaksanaannya, dari dalam maupun dari luar
lingkungan sekolah (masyarakat).
-
Koordinasi
peaksanaan.
-
Penyediaan
sarana, fasilitas, dan biaya.
Semuanya itu
memerlukan dan menuntut trampilan dari para pelaksana dan pembina pendidikan
dilapangan yang harus bergerak sebagai tim dngan ditunjang kemauan yang bear
sebagai tekad bersama.
Hambatan yang besar
ialah pemecahan terhadap konsep tesebut bahwa memasyarakatkan dikalangan para
pelaksana pendidikan dilapangan.
c. Masalah Peranan
Guru
Dewasa ini berkat
perkembangan iptek yang demikian pesat bahkan merevolusi, sejak abad ke-19, bagi
seorang guru tidak mungkin lagi menguasai seluruh khasanah ilmu pengetahuan
walau dalam bidangnya sendiri yang ia tekuni. Guru hanya mendudukkan dirinya
hanya sebagai sebagian dari sumber belajar. Beraneka ragam sumber belajar
justru dapat ditemukan di luar diri guru seperti perpustakaan, taman bacaan,
museum, took buku, berbagai media massa, lembaga-lembaga sosial, kebun
binatang, alam, dan lingkungan disekitar lainnya. Sebagaimana Comenius pernah mengingatkan bahwa alam
ini adalah buku besar yang sangat lengkap isinya.
Selain itu juga
hadirnya sejumlah konselor di lingkungan sekolah seperti petugas perpustakaan,
laboran, toolman, guru BP/BK dan sebagainya semakin meminimalisir peran seorang
guru. Namun ini tidak berarti guru kehilangan fungsinya, justru sebaliknya
fungsinya bertambah banyak hanya bergeser ke arah lain. Adapun kecukupan waktu
dimiliki oleh guru dapat dimanfaatkan seperti untuk:
-
Melakukan
kontak dan pendekatan manusiawi lebih intensif dengan murid-muridnya. Pelayanan
kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan kebutuhan
individual/kelompok, mendorong mendorong untuk maju dan kreativitas dan
kerjasama, menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri dan tanggung jawab,
penghargaan terhadap waktu dan kedisiplinan, penghargaanterhadap orang lain dan
penemuan jati diri. Inilah sisi pendidikan dari tugas seorang guru yang telah
lama terabaikan. Dari sisi pelajaran ia diharapkan mampu mengelola proses
pembelajaran (sebagai manager), menunjukkan tujuan pembelajaran (director),
mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (organisator), mengkoordinasikan semua
pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran pembelajaran (koordinator),
mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan
dan memberikan kemudahan kemudahan belajar (fasilitator), memberikan doronganbelajar
(stimulator).
Dalam hubungan multi
peran guru seperti di kemukakan diatas, maka masalah yang timbul ialah bagai
mana guru dapat melakukan multi peran seperti itu jika pada kebanyakan sekolah
mereka adalah pejuang tunggal. Kalaupun seandainya ia sudah didampingi oleh
petugas yang lain seperti konselor dan lain-lain itu sudahkah ia memiliki
wawasan dan kemampuan yang cukup untuk melaksanakan multi perannya itu.
Keyataan menunjukkan bahwa kenyataan guru belum siap untuk berbuat demikian.
d. Masalah
Pendidikan Dasar 9 Tahun
Dilihat dri segi
lamanya waktu belajar pada pendidikan dasar yaitu 9 tahun(yang ditetapkan dalam
GBHN 1993 butir 2c dinyatakan sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun), kita
sudah mengalami langkah maju dibanding masa-masa sebelumnya yang menetapkan
wajib belajar hanya 6 tahun yaitu sampai tingkat SD. Secara konseptual dan
acuan yang diberikan oleh ketetapan-ketetapan resmi tersebut sudah sejalan
dengan kebutuhan pembangunan antara lain:
-
Untuk
memasuki Perguruan Tinggi diperlukan sumber daya manusia yang lebih berkualitas
(kemampuan masukan mentah)
-
Pendidikan
dasar akan memperkuat fungsinya sebagai akar tunjang yang menunjang kualitas
proses pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang
selama ini posisinya sangat lemah.
-
Persyaratan
kerja yang dituntut di dunia kerja semakin meningkat sehingga dengan basis
dasar pendidikan 9 tahun tentunya lebih baik dari pada 6 tahun.
Dalam pendidikan
dasar 9 tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatannya.
Diantaranya adalah:
1)
Kurikulum
yang dipergunakan harus segera dilaksanakan dan ditetapkan, kemudian harus
dibarengi dengan sarana penunjang lainnya.
2)
Pada
masa transisi para pelaksana pendidikan dilapangan perlu disiapkan melalui
bimbingan-bimbingan, penyuluhan, penataran dan lain-lain.
Hambatan lain
tentunya datang dari masyarakat, utamanya dari orang tua/kalangan yang kurang
mampu. Mereka mumgkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus
membiayai anaknya lebih lama. Padahal tidak dapat berharap banyak dari anaknya
untuk segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.
2. Upaya
Penanggulangan
Beberapa upaya
dilakukan untuk menanggulangi masalah masalah aktual tersebut, diantaranya:
a) Pendidikan
efektif perlu ditingkatkan secara terprogram, tidak cukup hanya secara incidental. Pendekatan ketrampilan
proses yang sudah disebar luaskan konsepnya perlu ditindak lanjuti dengan
menyebarkan buku panduannya kepada sekolah-sekolah. Dalam hubungan ini
pelaksanaan pendidikan kesenian perlu diberikan perhatian khusus sehingga tak
menjaddi pelajaran kelas dua.
b) Pelaksanaan
kegaitan kurikuler dan ekstrakurikuler dilakukan dengan penuh kesungguhan dan
diperhitungkan dalam penentuan nilai akhir ataupun kelulusan.
c) Melakukan
penyusunan yang mantap terhadap potensi siswa melalui keragaman jenis program
studi.
d) Memberi
perhatian terhadap tenaga kependidikan(prajabatan dan jabatan), pendaya gunaan sumber belajar yang beraneka
ragam juga harus semakin ditingkatkan. Dimana upaya ini menjadi tanggung jawab
kepala sekolah, guru, dan teknisi sumber belajar.
e) Untuk pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun,
apalagi jika dikaitkan dengan gerakan wajib belajar, perlu diadakan penelitian
secara meluas pada masyarakat untuk menemukan faktor penunjang dan terutama faktor penghambatnya.
Kepada masyarakat
luas perlu diberikan informasi yang sifatnya memperjelas dan persuasif tentang
makna dari pendidikan dasar. Kemudian realisasi pelaksanaan pendidikan dasar
tersebut harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.