ALIRAN-ALIRAN PENDIDIKAN
Aliran-aliran pendidikan telah dimulai
sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik
dari orang tuanya. Di dalm kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan,
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman Yunani kuno
sampai kini. Oleh karena itu bahasan tersebut hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran klasik, pengaruhnya sampai
saat ini dan dua tonggak penting pendidikan di Indonesia.
A. ALIRAN KLASIK DAN GERAKAN BARU DALAM
PENDIDIKAN
Seperti yang telah
diketahui, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai pada zaman
Yunai Kuno, dan dengan konstribusi dari Negara-negara Eropa, Amerika Serikat
dan lainnya. Oleh karena itu, baik aliran-aliran klasik umumnya berasal dari
kedua kawasan tersebut. Sampainya aliran tersebut ke Indonesia di bawa melalui
berbagai cara: dibawa oleh bangsa penjajah ke daerah jajahannya, melaui bacaan
(buku dan sebagainya), dibawa oleh orang yang berlayar ke Eropa/Amerika, dan
sebagainya.
Aliran-aliran klasik
yang dimaksud adalah aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi.
Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun dengan
pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Yang
merupakan benang merah penghubung pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan
juga mungkin masa yang akan dating.
1.
Aliran-aliran
Klasik dalam Pendidikan dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran Pendidikan di
Indonesia.
Sehubungan
dengan berbagai kajian yang ada tentang
aliran-aliran pendidikan, perbedaan pandangan itu berpangkal pada perbedaan
pandangan tentang perkembangan manusia itu. Terdapat perbedaan penekanan
didalam suatu teori kepribadian tertentu tentang manakah yang paling
berpengaruh (dominan) dalam perkembangan kepribadian. Perbedaan pandangan
tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia yang menjadi dasar perbedaan
pandangan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang paling
pesimis hingga yang paling optimis.
a. Aliran Empirisme
Aliran empirisme
bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulsi eksternal dalam
perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada
lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diproleh
anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa
stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan
oleh orang dewasa dalam bentuk pendidikan. Tokoh perintisnya adalah seorang
filsuf asal inggris bernama John Locke (1932-1704) yang mengembangkan teori
“Tabula Rasa”: anak lahir didunia bagaikan kertas putih bersih. Menurut
pandanga Empirisme (biasa pula disebut Enviromentalisme) pendidik memegang
peran yang sangat penting karena memberikan pengalaman-pengalaman kepada anak didik. Pengalaman-pengalaman itu
yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Alian Empirisme
dipandang berat sebelah karena hanya mementingkan pengalaman dari lingkungan
tanpa memandang kemampuan dasar yang dimili anak didik. Seprti yang diketahui
bahwa banyak anak yang berhasil karena bakt mereka meskipun tidak didukung oleh
lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya kemauan keras atau
kecerdasan dalam diri anak tersebut. Namun pada aliran ini masih terdapat
pendapat bahwa mereka memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat
dimanipulasi. Hal ini tercermin pada pandangan Scientific Psychology dan B.F.
Skinner ataupun pendapat behavioral (behaviorisme) lainnya. Meskipun demikian,
pandangan behavioral ini masih berfariasi dalam menentukan faktor apakah yang
paling utama didalam menentukan faktor-faktor dalam proses belajar itu
(Millholan dan Forisha, 1972: 31-79;Ivey,et.al., 1987: 231-263), sebagai
berikut:
1)
Pandangan
yang menekankan perana stimulus (rangsangan) terhadap prilaku seperti dalam
“classical conditioning” atau “respondent learning” oleh Ivan Pavlov
(1849-1936) di Rusia dan Jhon B. Watson (1878-1958) di Amerika Serikat;
2)
Pandangan
yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu prilaku
seperti dalam “operant conditioning” atau “instrumental learning” dari Edward
L.Thorndike (1874-1949) dan B.F.Skinner dari Amerika Serikat;
3)
Pandangan
yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi seperti seperti dalam
“observational learning” yang dipelopori oleh N.E.Miller dan J.Dollard dengan
“Social Learning and Imitation (diterbitkan pada 1941) dan dikembangkan lebih
lanjut oleh A.Bandura dengan “Participant Modeling” (diterbitkan tahun 1976)
maupun dengan “Self-Efficacy” (diterbitkan 1982).
b. Aliran
Nativisme
Aliran Nativisme
bertolak dari Leinitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Hasil prkembangan tersebut ditentukan oleh
pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh
terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan,
Schopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah
dengan pembawaan baik dan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan
ini, maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi
baik”.
Meskipun dalam
kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik)
dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan
itu bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan anak, karena
banyak hal yang mempengaruhi perkembangan anak menuju kedewasaan. Terdapat
suatu pokok aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni bahwa dalam suatu diri
individu terdapat “inti” pribadi (G.Leibnitz: monad). Pandangan-pandangan
tersebut nampak antara lain dalam Humanistic
Psycology dari Carl R.Rogers ataupun pandangan Phenomenology/ Humanistic
lainnya. Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, pengalaman atau
penerimaan dan persepsi seseorang ditenyukan oleh kemampuan memaknai apa yang
dialaminya. Terdapat variasi pendapat dan pendekatan Phenomenology/Humanistic
tersebut (Millholan dan Forisha, 1972:81-123; et.al., 1987: 267-297) sebagai
berikut:
1)
Pendekatan
aktualisasi diri atau non-direktif (client contered) dari Carl R.Rogers dan
Abraham Maslow.
2)
Pendekatan
“Personal Constructs” dari George A.Kelly yang menekankan betapa pentingnya
memahami hubungan “transaksional” antara manusia dan lingkungannya sebagai
bekal awal memahami prilakunya (Ivery, et.al., 1987: 144 dan 154).
3)
Pendekatan
“Gestalt”, baik yang klasik (Max Wertheimer dan wolgang Kphler) maupun
pengembangan selanjutnya (K.Lewin dan F.Perls).
4)
Pendekatan
“Search for Meaning” dengan aplikasinya sebagai “Logotherapy” dari Viktor
Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya semangat (human spirit) untuk
mengatasi berbagai tantangan/masalah yang dihadapi.
Pendekatan-pendekatan
tersebut menekankan bahwa betapa pentingnya “inti” pribadi atau biasa yang
disebut dengan jati diri manusia.
c. Aliran Naturalisme
Aliran ini
dipelopori oleh J.J Rosseau (1712-1778). Rosseau berpendapat bahwa semua anak
baru dilahirkan mempunyai pembawaan BAIK. Pembawaan baik akan menjadi rusak
karena dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat
merusak pembawaan baik anak itu. Aliran ini juga disebut negativisme, karena
berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak didik pada alam.
Dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan lagi. J.J.Rousseau ingin
menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang seba dibuat-buat
(artificial) sehingga kebaikan anak yang diperoleh saat lahir secara alamiah itu dapat berkembang secara
spontan dan bebas. Alam hal ini ia juga mengusulkan kebebasan mutlak kepada
anak didik untuk melakukan kecenderungan-kecenderungan mereka,
kemampuan-kemampuannya dan memngembangkan pembawaan mereka.
Namun seperti yang
kita ketahui sekarang, gagasan Naturalisme yang menolak campur tangan
pendidikan , hingga saat ini malahan
terbukti sebaliknya: pendidikan makin lama justru makin diperlukan.
d. Aliran Konvergensi
Aliran Konvergensi
dipelopori oleh Wlliam Stern (1871-1939 yang merupakan seorang ahli pedidikan
berkebangsaan jerman, ia berpedapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia
sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Proses perkembangan anak,
baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan
sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan
baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk perkembangan anak itu.
Itulah mengapa William
Stern berpendapat bahwa hasil dari pendidikan itu tergantung dari pembawaan
(bakat) dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju ke suatu titik
pertemuan sebagai berikut:
a.
a. Pembawaan
(bakat)
-------------- b.
Lingkungan
b.
c. Hasil
pendidikan
Oleh karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi
(Konvergen artinya memusat ke satu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
(1)
Pendidikan
mungkin dilaksanakan
(2)
Pendidikan
diartikan sebagai pertolongan yang diberikan oleh lingkungan kepada anak didik
untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang
kurang baik.
(3)
Yang
membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan (bakat) dan lingkungan.
Seperti yang telah diketahui bahwa terdapat variasi-variasi pendapat
dalam aliran konvergensi, diantaranya adalah tercermin pada perbedaan pandangan
tentang strategi yang tepat untuk memahami perlaku manusia, seperti strategi
disposisional/ konstitusional,strategi phenomenologist/ humanistik, strategi
behavioral, strategi psikodinamik/psiko-analitik, dan sebagainya. Begitu juga
dalam hal belajar-mengajar, variasi itu menyebabkan munculnya berbagai teori
belajar atau teori/model mengajar. Sebagai contohnya adalah seperti Rumpun
Model Behavioral (umpama Model Belajar tuntas, Model Belajar Kontrol Diri
Sendiri, Model Belajar Simulasi, dan Model Belajar Asertif), Rumpun Model
Pemrosesan Informasi (Model Belajar Inkuiri, Model Presentase Kerangka Dasar
atau Advance Organizer, dan Model Pengembangan Berfikir), dan lain-lain.Dari
sisi lain, variasi pendapat juga melahirkan berbagai gagasan tentng
belajar-mengajar, seperti peran guru sebagai fasilitator ataukah infomator,
teknik penilaian pencapaian siswa dengan test obyektif atau test esai,
perumusan tujuan pengajaran yang sangat behavioral, penekanan pada peran
teknologi pengajaran (The Theaching Machine, belajar berprogamma, dan
lain-lain), dan sebagainya.
e. Pengaruh Aliran
Klasik terhadap Pemikiran dan Praktek Pendidikan di Indonesia
Di indonesia telah
di terapkan berbagai aliran-aliran pendidikan, penerimaan tersebut dilakukan secara
tidak langsung dari adanya penjajahan yang terjadi dari penguasa penjajah
Belanda sampai dengan adanya orah-orang Indonesia yang belajar di negeri Belanda pada masa penjajahan. Pasca
kemerdekaan Indonesia, gagasan-gagasan dalam aliran-aliran pendidikan itu masuk
ke Indonesia, yang belajar dari Negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan
lain-lain. Sebelumnya juga di Indonesia telah dikenal dengan pendidikan di
dalam lingkungan keluarga dan oleh masyarakat (kelompok belajar/padepokan,
lembaga keagamaan/ pesantren, dan sebagainya).
Meskipun dalam hal-hal
tertentu sangat diutamakan bakat dan potensi lainnya dalam anak, juga tidak
dapat dilepaskan dari faktor-faktor lainnya yaitu hereditas, lingkungan, proses
perkembangan itu sendiri, dan anugerah. Faktor terakhir itu merupakan
pencerminan pengakuan atas adanya kekuasaan yang ikut menentukan nasib manusia
(Sulo Lipu La Sulo, 1981: 38-46). Khusus dalam latar persekolahan, sejumlah
pendaapat menginginkan agar peserta didik ditempatkan pada posisi seharusnya,
dalam artian merupakan manusia yang dapat di didik dan juga mampu mendidik
dirinya melalui pengalaman-pengalaman yang diperolehnya. Seyogyanya hubungan
antara pendidik dan peserta didik adalah hubungan yang setara antara dua
pribadi, meskipun yang satu lebih berkembang dari yang lainnya (Raka Joni,
1983: 29; Sulo Lipu La Sulo, 1984). Sehingga dengan demikian, cita-cita
pendidikan seumur hidup dapat diwujudkan melalui belajar seumur hidup. Dimana
hubungan tersebut sesuai dengan asas “ing
ngarsa sung tuluda”, “ing madya mangun karsa”, dan “tut wuri handayani”, serta pendekatan-pendekatan yang memancing
keaktifan anak didik dalam proses pembelajaran.
2.
Gerakan
Baru Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pelaksanaan di Indonesia.
Gerakan-gerakan baru dalam dunia
pendidikan pada umumnya yakni upaya meningkatkan mutu pendidikan hanya dalam
satu atau beberapa komponen saja. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem,
penangan satu atau beberapa komponen itu akan mempengaruhi pula komponen
lainnya. Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri pada
perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan belajar-mengajar pada system
persekolahan. Gerakan-gerakan baru itu pada umumnya telah memberikan
konstribusi secara bervariasi terhadap penyelenggaraan kegiatan
belajar-mengajar di sekolah sekarang ini.
a. Pengajaran Alam
Sekitar
Gerakan pendidikan
yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitar,perintis
gerakan ini adalah Fr. A. Finger (1808-1888) di Jerman dengan heimatkunde
(pengajaran alam sekirar), dan J. Ligthart (1859-1916) di Belanda dengan Het
Voll Leven (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip dari ajaran Heimatkunde adalah:
1)
Dengan pengajaran
alam sekitar itu pendidik dapat memeragakan secara lansung apa yang akan dia
ajarkan ke peserta didiknya.
2)
Kesempatan
yang diberikan oleh pengajaran alam sekitar tidak hanya meberikan anak didik
untuk duduk dan mencatat saja, melainkan juga mendorongnya untuk aktif.
3)
Pengajaran
alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran secara totalitas, adapun
ciri-ciri pengajaran tersebut adalah:
a)
Tidak
mengenal dibaginya mata pengajaran dalam daftara pengajaran, tapi pendidik
memiliki pemahaman akan tujuan dari pembelajaran yang dilakukan.
b)
Memusatkan
perhatian anak didik terhadap apa yang bisa menarik minat akan apa yang bahan
pengajaran yang diambil dari alam sekitar.
c)
Adanya
hubungan yang memungkinkan keterkaitan antara segala bahan pengajaran yang satu
dengan lain seerat-eratnya secara teratur.
4)
Pengajaran
alam sekitar member kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kokoh dan
tidak verbalistis. Apersepsi intelektual ialah segala sesuatu hal yang baru
yang kemudian masuk didalam intelek anak, harus dapat luluh deengan apa yang sudah dimiliki anak (proses
asimilasi).
5)
Pengajaran
alam sekitar memberikan apersepsi emosional, ini dikarenakan alam memiliki
ikatan emosional dengan anak.
Sedangkan J.Lingthart
mengemukakan pegangan dalam Het Volle
Leven sebagai berikut:
1)
Anak harus
mengetahui bentuk dari sesuatu, sebelum ia mengetahui nama dari barang
tersebut, dan tidak kebalikannya.
2)
Pengajaran
sesungguhnya itu harus mendasari pengajaran selanjutnya, arinya ada suatu pusat
dari pengajaran itu sendiri.
3)
Anak didik
harus mengalami semua hal yang nyata di sepua aspek kehidupan, agar mereka
paham akan hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya (Pengajaran
alam sekitar).
Pokok-pokok Pengajaran alam sekitar adalah sesungguhnya
dengan menempatkan anak didik ataupun pendidik kedalam suatu bagian yang
disebut dengan alam, sehingga dengan
memanfaatkan alam sebagai sumber belajar, anak akan lebih mencintai,
menghargai, dan melestarikan lingkungannya.
b. Pengajaran Pusat
Perhatian
Pengajaran pusat
perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat, disamping pendapatnya tentang pengajaran
global. Pendidikan menurut Decroly berdasarkan pada semboyan: Ecole pour la
vie, par lavie (sekolah untuk hidup, dan oleh hidup). Decroly menyumbangkan dua
pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yaitu:Metode
Global dan Centre d’interet.
1)
Metode
Global (keseluruhan): pendapat ini berdasarkan atas prinsip psikologi Gestalt.
Anak akan lebih mudah mengingat secara keseluruhan terlebih dahulu, baru
kemudian bagian-bagiannya. Metode ini bersifat ideo visual sebab arti sesuatu
kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan dengan tanda (tulisan), atau suatu
gambar yang dapat dilihat.
2)
Centre
d’interet (pusat-pusat minat): anak memiliki minat terhadap suatu hal yang
terjadi secara spontan, sehingga pengajaran yang dilakukan harus disesuaikan
dengan minat-minat spontan tersebut. Adapun minat tersebut dapat di bedakan
menjadi minat terhadap diri sendiri dibedakan menjadi: (a) Dorongan
mempertahankan diri, (b) Dorongan mencari makan dan minum, dan (c) Dorongan
memelihara diri. Sedangkan minat terhadap masyarakat (bio sosial) adalah: (a)
Dorongan melakukan aktifitas besama (misalnya bermain), dan (b) Dorongan meniru
orang lain.
Gerakan pengajaran pusat perhatian lebih menekankan pada
bagaimana melakukan variasi-variasi di dalam proses pengajaran tersebut, dengan
memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada sekarang ini. Pemusatan perhatian dengan variasi-variasi
tersebut bukan hanya pada pembukaan pengajaran, melainkan pada tiap bahasan
subtopic yang baru. Dengan demikian minat dan perhatian siswa akan tetap
terpusat pada bahan ajaran.
c. Sekolah Kerja
Gerakan sekolah
kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang
mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. J.A. Comenius
(1592-1670) menekankan agar pendidikan mengembangkan: pikiran, ingatan, bahasa,
dan tangan. J.H. Pestalozzi (1746-1827) mengajarkan bermacam-macam mata
pelajaran pertukaran di sekolahnya. Namun demikian yang sering dipandang
sebagai Bapak sekolah kerja adalah G.Kerschensteiner (1854-1932) dengan
Arbeitsscule (Sekolah Kerja) di Jerman. Diman a dalam Sekolah Kerja dipandang
bahwa pendidikan itu tidak hanya demi kepentingan individu tetapi juga demi
kepentingan masyarakat. Adapun kewajiban sekolah adalah menyediakan warga
Negara yang baik, yakni: (1) Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu
lapangan pekerjaan/jabatan, (2) Tiap orang wajib memberikan sumbangsih
tenaganya untuk kepentingan Negara, (3) Dalam kedua tugasnya itu, warga Negara
ikut membantu mempertinggi dan menyempurnakan kesusilaan dan keselamatan
Negara. Berdasarkan hal itu, maka menurut G.Kerschensteiner tujuan sekolah
adalah:
1)
Menambah
pengetahuan anak, yaitu pengetahuan dari buku atau pendidik, dan juga dari
pengalamannya sendiri.
2)
Agar anak
dapat memiliki kemahiran dan kemampuan tertentu.
3)
Agar anak
memiliki pekerjaan sebagai persiapan dalam mengabdi untuk negaranya.
Oleh karena demikian
banyaknya macam-macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka kemudian di
bagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
1)
Sekolah-sekolah
perindustrian (tukang cukur, tukang cetak, tukang kayu, tukang daging, masinis
dll).
2)
Sekolah-sekolah
perdagangan (pakaian, bank, asuransi, makanan dll).
3)
Sekolah-sekolah
rumah tangga, bertujuan untuk mendidik para calon ibu yang diharapkan akan
menghasilkan warga Negara yang baik.
Segala kegiatan itu dilakukan disekolah sehingga sekolah
mempunyai alat-alat yang lengkap dan tempat (ruang) yang cukup: dapur,
laboratorium, kebun sekolah dan sebagainya.
Sekolah kerja di
Indonesia adalah sekolah-sekolah kejuruan yang menyiapkan keterampilan bagi
warga negaranya. Disamping pengaruh sekolah kerja di program pendidikan jalur
sekolah, pengaruh terbesar gagasan ini adalah pengaruh pendidikan luar sekolah
(seperti kursus, balai latihan kerja, dan sebagainya).
d. Pengajaran Proyek
Dasar
filosofis daan pedagogis dari pengajaran proyek diletakkan oleh John Dewey
(1859-1952), namun pelaksanaannya dilakukan oleh pengikutnya, utamanya adalah
W.H.Kilpatric. Dewey menegaskan bahwa sekolah haruslah sebagai mikrocosmos dari
masyarakat (become a microcosm of society). Dengan kata lain pendidikan itu
adalah suatu proses kehidupan dan bukan lah penyiapan untuk kehidupan di masa
dating (Ulich,1950:318). Dalam pengajaran proyek anak bebas menentukan
pilihannya (terhadap pekerjaan), merancang serta memimpinnya. Proyek itulah
yang menyebabkan mata pelajaran itu tidak terpisah antara yang satu dengaan
yang lainnya, dalam artian secara otomatis pelajaran yang menjadi kompleks
pokok akan diikuti oleh pelajaran-pelajaran seperti membaca, menghitung, dan menulis
serta membaca. Bahsa ibu di pengajaran proyek ini tidak bias dilepaskan dari
anak didik, karena bahasa itulah yang merupakan alat pernyataan pengalaman dan
perasaan pada anak-anak.
Dalam
pengajaran proyek, pekerjaan-pekerjaan dikerjakan secara berkelompok untuk
menghidupkan rasa gotong royong.dimana dalam kegiatan tersebut akan melahirkan
sifat-sifat baik pada diri anak seperti: bersaing secara sportif, bebes
menyatakan pendapat, dan disiplin yang sewajarnya yang diperlukan nantinya
dalam masyarakat kapitalistik dan demokratik.
Pengajaran
proyek biasa pula digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia,
antara lain dengan nama pengajaran proyek, pengajaran unit, dan sebagainya.
Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan menumbuhkan kemampuan untuk
memandang dan memecahkan persoalan secara konprehensif. Pendekatan
multidisiplin tersebut makin lama makin penting, utamanya masyarakat maju.
B. DUA ALIRAN POKOK PENDIDIKAN DI INDONESIA
Secara historis,
pendidikan yang melembaga (meskipun lebih banyak pada jalur luar sekolah)telah
dikenal sebelum belanda menjajah Indonesia, seperti padepokan, pesantren, dan
sebagainya. Dua aliran pokok pendidikan di Indonesia itu dimaksudkan adalah
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam. Kedua
aliran tersebut dipandang sebagai tonggak pemikiran tentang pendidikan di
Indonesia. Hal itu sesuai dengan ketetapan ayat 2 pasal 31 dari UUD 1945.
Kemudian seperti yang telah dikemukakan bahwa menjelang PJP II telah diletakkan
landasan yuridis untuk penataan SISDIKNAS dengan ditetapkannya UU-RI No. 2
tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya.
1. Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa
Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1932 di yogyakarta,
yakni dalam bentuk yayasan, kemudian selanjutnya mulai didirikan Taman Indria
(Taman Kanak-Kanak) dan kursus guru, selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman
Dewasa merangkap Taman Guru (MULO-Kweekschool. Dan hingga kini telah
dikembangkan juga menjadi Taman Madya,Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
a. Asas dan Tujuan Taman
Siswa
Perguruan kebangsaan taman siswa mempunyai 7 (tujuh) asas perjuangan
untuk menghadapi pemerintahan colonial belanda serta sekaligus untuk
mempertahankan stabilitas nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut biasa
disebut “asas 1922”. Yang diumumkan pada tannggal 3 Juli 1922, bertepatan
dengan berdirinya Taman Siswa, dan disahkan oleh Kongres Taman Siswa yang
pertama di Yogyakarta pada tanggal 7 Agustus 1930, yaitu:
·
Bahwa
setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri (zelf-beschikkingstrecht)
dengan terbitnya persatuan dalam peri kehidupan umum.
·
Bahwa
pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan
batin dapat memerdekan diri. Dengan maksud tanpa mengekang kebebasan dari
seorang siswa untuk menunjukkan diri mereka, melalui kreativitas ataupun
kemampuan mereka masing-masing.
·
Bahwa
pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri. Artinya
menghindarkan bentuk pengajaran yang intelektualistis dan “kebarat-baratan”,
agar tidak terjadi kesenjangan di
masyarakat.
·
Bahwa
pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
Dengan kata lain, melakukan pemerataan pendidikan, dan tidak hanya
memppertinggi pengakaran namun penyebarannya dikurangi.
·
Bahwa
dalam mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya lahir maupun batin hendaknya
diusahan dengan kekuatan sendiri dan menolak bantuan dari apapun yang mengikat
baik secaara bathin maupun ikatan lahir. Atau uang biasa dikenal dengan asas
“hidup”, dengan istilah kemerdekaan diri.
·
Bahwa
sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka harus mutlak harus
membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan (zelfbergrothings-system).
·
Bahwa
dalam mendidik anak-anak perlu adanya keiklasan lahir dan batin untuk mengorbankan
segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak. Atau
biasa disebut dengan asas “Berhamba kepada anak didik”, yang dilakukan
pengajaran dengan tulus ikhlas dan tannpa pamrih atau biasa dikenal dengan
istilah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sekarang ini.
Selanjutnya, dikemukakan penjelasan resmi dari Perguruan
kebangsaan Taman Siswa tentang ketujuh asas 1922 tersebut (Ki Hajar Dewantara,
1952: 270-271, wawasan kependidikan guru, 1982: 148-151). Dalam perkembangan
selanjutnya, Taman Siswa melengkapi “Asas 1922” tersebut dengan “Dasar-Dasar
1947” yang disebut pula dengan istilah “Panca Dharma”. Adapun asas-asas yang
terdapat didalamnya adalah Asas Kemerdekaan, Asas Kodrat Alam, Asas Kebudayaan
Taman Siswa, Asas Kebangsaan Taman Siswa, dan Asas Kemanusiaan (Ki
Mangunsarkoro. 1952, dari Wawasan Kependidikan Guru. 1982: 153-154).
Tujuan Taman Siswa
Tujuan dari Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
dapat di bagi meenjadi 2 (dua) jenis yakni tujuan yayasan atau keseluruhan
perguruan dan tujuan pendidikan. Adapun isi dari kedua tujuan tersebut adalah:
·
Sebagai
badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai.
·
Membangun
anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya,
serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan
bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya.
b.
Upaya-upaya yang dilakukan Taman Siswa
Beberapa
usaha yang dilakukan oleh Taman Tiswa adalah menyiapkan peserta didik yang
cerdas dan memiliki kecakapan hidup. Dalam ruang lingkup eksternal Taman Siswa
(diluar lingkungan perguruan) membentuk pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan.
Berikut ini ada beberapa usaha yang dilakukan, dimulai dalam Lingkungan
perguruan yaitu:
1) Menyelenggarakan tugas pendidikan dalam
perguruan dari tingkat dasar hingga tingat tinggi, baik yang bersifat umum atau
kejuruan, dan menyesuaikan dengan asas, dasar, dan tujuan Taman Siswa serta
perkembangan jaman.
2) Mengikuti, mempelajari perkembangan di luar
Taman Siswa dengan mengambil faedah-faedah yang berhubungan dengan bidang-bidang kegiatan di Taman Siswa.
3) Menumbuhkan dan memasakkan lingkungan hidup
keluarga Taman Siswa, sehingga sesuai dengan yang dicita-citakan.
4) Melakukan hubungan timbal balik antara
perguruan/keluarga dan masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat luas
pada umumnya. Sehingga terbentuknya wadah yang nyata bagi jiwa Taman Siswa.
Kemudian upaya-upaya
di luar lingkungan juga dilakukan dengan jalan sebagai berikut:
1)
Menjalankan
kerja pendidikan untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar dan hidup Taman
Siswa.
2)
Menyelenggarakan
usaha-usaha di dalam member dorongan dan
bimbingan kepada kegiatan masyarakat dalam perjuangannya menuju masyarakat yang
tertib-damai.
3)
Bersama-sana
dengan instansi pemerintahan mrnyrlrnggarakan usaha-usaha pembentukan kesatuan
hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia.
4)
Menyelenggarakan
usaha pendidikan kader pembangunan dengan memberikan output pembangunan
nantinya ke masyarakat.
5)
Mengusahan
terbentuknya pusat-pusat kegiatan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan masyarakat dengan inti-inti kejiwaan Taman Siswa.
c.
Hasil-hasil yang Dicapai
Taman
siswa telah berhasil menemukakan gagasan tentang pendidikan nasional,
lembaga-lembaga pendidikan dari Taman indria sampai Sarjana Wiyata. Taman siswa
pun telah melahirkan alumni alumni besar di Indonesia. Yang memberikan
penyegaran dan dinamisasi di Negara ini, harapannya adalah semua penyegaran dan
dinamisasi itu akan terus berkembang agar Taman Siswa dapat terus berkembang
dan tumbuh maju. Seperti yang kita ketahui, hari jadi pendiri Taman Siswa
(yaitu 2 Mei) telah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
2.
Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Ruang
Pendidik INS (Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohammad Sjafei
pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayu Tanam (sumatera Barat). Pada mulanya INS
dipimpin oleh ayah beliau, barulah kemudian oleh Moh.Sjafei sendiri. Sekolah
tersebut sempat dibumi hanguskan oleh
penjajahan Belanda sebelum dimulai lagi pada bulan Mei 1950 dengan jumlah 30
orang siswa. Kemudian pada tahun 1952, INS mendirikan percetakan Sridharma
dengan menerbitkan majalah bulanan Sendi
dengan sasaran khalayak anak-anak.
a. Asas dan
Tujuan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Pada awal didirikan, Ruang Pendidik INS
mempunyai asas-asas sebagai berikut:
·
Berpikir
logis dan rasional
·
Keaktifan
atau kegiatan
·
Pendidikan
masyarakat
·
Memperhatikan
pembawaan anak
·
Menentang
intelektualisme
Kemudian setelah
kemerdekaan, asas-asas tersebut dikembangkan oleh Moh.Sjafei menjadi
dasar-dasar pendidikan Republik Indonesia. Dasar-dasar pendidikan tersebut
(Mohhammad Sjafei, 1979: 31-86; dan Said, 1981: 57-69) adalah sebagai berikut:
1) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan
3) Kesusilaan
4) Kerakyatan
5) Kebangsaan
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan
kejuruan
7) Percaya kepada diri sendiri dan kepada Tuhan
8) Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin
9) Bertanggung jawab akan keselamatan Nusa dan
Bangsa
10)
Berjiwa
aktif positi dan aktif negative
11)
Mempunyai
daya cipta
12)
Cerdas,
logis dan rasional
13)
Berperasaan
tajam, halus dan estetis
14)
Gigih
atau ulet yang sehat
15)
Correct
atau tepat
16)
Emosional
atau terharu
17)
Jasmani
sehat dan kuat
18)
Bahasa
Indonesia, Inggris, dan Arab
19)
Sanggup
hidup sederhana dan bersusah payah
20)
Sanggup
mengerjakan sesuatu dengan alat seadanya
21)
Sebanyak
mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik
22)
Sebanyak
mungkin waktu mengajar guru sebagai obyek, dan murid-murid sebagai subyek. Jika
tidak memungkinkan barulah sebaliknya
23)
Sebanyak
mungkin para guru mencontohkan pelajarannya-pelajarannya dan tidak hanya pandai
menyuruh saja
24)
Diusahakan
agar belajar mempunyai darah ksatria: berani karena benar.
25)
Mempunyai
jiwa konsentrasi
26)
Pemeliharaan
(perawatan) suatu usaha
27)
Menepati
janji
28)
Sebelum
memulai pekerjaan sebaiknya menimbang-nimbangnya terlebih dahulu dan
kewajibannya harus dipenuhi.
29)
Hemat.
Dasar-dasar tersebut
kemudian disempurnakan dan mencakup berbagai hal, seperti: syarat-syarat
pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai, dan sebagainya.
Tujuan Ruang pendidik INS Kayu Tanam adalah:
Adapun tujuan
dari Ruang Pendidikan INS Kayu Tanam adalah:
·
Mendidik
rakyat ke arah kemerdekaan
·
Memberi
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
·
Mendidik
para pemuda agar berguna untuk masyarakat
·
Menanamkan
kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
·
Mengusahakan
mandiri dalam pembiayaan.
b.
Upaya-upaya Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Beberapa
usaha yang dilakukan oleh Ruang Pendidik INS Kayu Tanam antara lain
menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti Ruang Rendah (7 tahun,
setara sekolah dasar), Ruang Dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara
sekolah menengah), dan sebagainya. Menyiapkan tenaga guru atau pendidik, yakni
tambahan satu tahun setelah Ruang Dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar
dan praktek mengajar (Said, 1981: 57-69) dan penerbitan majalah anak-anak Sendi, serta mencetak buku-buku
pelajaran.
Ruang Pendidikan INS
Kayu Tanam tersebit dilakukan sebagai usaha mandiri, dan menolak bantuan yang
mungkin akan membatasi kebebasannya di dalam melakukan proses pendidikan.
c.
Hasil-hasil yang Dicapai Ruang Pendidik INS Kayu Tanam
Ruang
Pendidik INS Kayu Tanam mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan
nasional (utamanya pendidikan keterampilan/kerajinan), beberapa ruang pendidikan
(jenjang persekolahan), dan sejumlah alumni.
Selain itu, upaya-upaya pengembangan Ruang
Pendidikan INS Kayu Tanam tersebut seyogyanya dilakukan dalam kerangka
pengembangan SISDIKNAS, sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-cita Ruang
Pendidik INS: mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar