Minggu, 29 Desember 2013

Permasalahan Pendidikan


PERMASALAHAN PENDIDIKAN

     Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersbut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
A.    PERMASALAHAN POKOK PENDIDIKAN
     Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak  mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem social budaya sebagai supra sistem tersebut dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalah intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu permasalan intern di dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Pada dasarnya ada dua permasalahan pokok pendidikan yang kita hadapai saat ini, yaitu:
a. Bagaimana semua warganegara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
b. Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang antap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
B.    JENIS PERMASALAH POKOK PENDIDIKAN
     Masalah pokok pendidikan yang menjadi kesepakatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya ada empat macam yaitu:
1. masalah pemerataan pendidikan
2. masalah mutu pendidikan
3. masalah efisiensi pendidikan
4. masalah relevansi pendidikan.

1.     Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana  sistem pendidikan dapt menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warganegara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumberdaya manusia untuk menunjang pembangunan.
Pada masa awalnya, ditanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan di dalam undang-undang No.4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah Bab XI, Pasal 17, yang berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab. VI, Pasal 10 Ayat 1, yang berbunyi:
Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajaar disekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya. Ayat 2, menyatakan: belajar disekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan yuridis pemerataan pendidikan itu penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketertinggalan kita akibat penjajahan. Berikut ini gambaran bagaimana perkembangan dunia pendidikan di Negara kita beberaap tahun terakhir:

Dari data tersebut diatas dapatlah diketahui bagaimana besarnya dorongan masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan bagi anak-anak mereka serta meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan yang di alami oeh anak didiknya.
Masalah pemerataan memperoleh dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menutis dan berhitung, sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media massa  dan sumber belajar yang tersedia  baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Khusus untuk pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi dan yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama. Kemudian melalui jalur pendidikan luar sekolah usaha pemerataan pendidikan mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu perkembangan iptek yang menawarkan berbagai macam alternatif, dan dianutnya konsep pendidikan sepanjang hidup yang tidak membatasi pendidikan hanya sampai pada usia tertentu dan tidak terbatas hanya pada penyediaan sekolah.

Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan

Masalah tentang pemerataan pendidikan ini dapat dipecahkan dengan dua cara, yaitu dengan cara konvensional dan cara inovatif.
Cara konvensional antara lain:
a.  Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres,dan atau ruangan belajar,
b.  Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membanngkitkan kemauan belajar bagi masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.

Cara inovatif antara lain:
a.   Sistem Pamong (Pendidikan oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru) atau INPACT System (Instructional Managemant by Parent, Community and Teacher). Sistem tersebut dirintis di Solo dan didesimenasikan ke beberapa propinsi.
b.   SD kecil pada daerah terpencil
c.   Sistem Guru Kunjung
d.   SMP Terbuka (ISOSA – In School out off School Approach)
e.   Kejar Paket A dan B
f.   Belajar Jarak Jauh seperti Universitas Terbuka.
2.     Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu pendidikan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai proodusen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dillakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/pemagangan bagi calon pekerja untuk penyesuaian dengan  tuntutan persyaratan kerja di lapangan.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Denggan kata lain apakah luaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri dan lingkungannya. Kualitas luaran seperti itu disebut dengan nurturant effect. Meskipun disadari bahwa pada hakekatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mataa hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu system pendidikan dianggap mempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan adalah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidaklah mudah.
Pada hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melaui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya proses belajar yang bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal menghasilkan hasil ujian yang tidak baik maka dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Ini berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletak pada masalah pemerosesan pendidikan.
Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah  pemerataan mutu. Di dalam TAP MPR RI 1988 tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu  penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu disempurnakan dan di tingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika. (BP-7 Pusat.1989:68). Umumnya kondisi mutu pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya didaerah terpencil lebih rendah dari pada di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya diseluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan

Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia dan manajemen sabagai berikut:
a.  Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah (raw input), khususnya untuk SMA/SMK Sederajat dan Perguruan Tinggi.
b.  Pengembangan kemampuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut latihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
c.  Penyempurnaan kurikulum (materinya yang essensial dan sesuai dengan mengandung muatan lokal), metode yang menantang dan menggairahkan belajar, evaluai berancuan PAP.
d.  Pengembanggan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tentram untuk belajar.
e.  Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan praktek/lab.
f.  Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
g.  Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:
1)   Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan.
2)   Supervisi dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas.
3)   Sistem ujian nasional/Negara seperti UAN dan lain-lain.
4)   Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga.


3.     Masalah Efisiensi Pendidikan
  Masalah efesiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Beberapa masalah dalam kaitannya dengan efisiensi pendidikan antara lain:
a.      Bagaimana memfungsikan tenaga pendidikan.
b.      Bagaimana sarana dan prasarana pendidikan digunakan.
c.      Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d.      Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.

Masalah-masalah tersebut diatas meliputi pengangkatan, penempatan dan pengembangan tenaga.
Masalah penempatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa beberapa tahun terakhir ini, kita ketahui bersama bahwa ada ribuan sarjana yang di wisuda tiap tahunnya, sedangkan pengangkatan mereka hanyalah 20 persen saja dari jumlah seluruhnya. Dengan demikian berarti lebih dari 80 persen tenaga yang tersedia tidak difungsikan. Ini berarti pemubasiran terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian (belum terjadi rate of return). Sebab tenaga kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk berwirausaha.
Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Hal ini dikarenakan terkadang kebutuhan akan guru yang memegang studi A, namun terkadang guru yang didatangkan dan ditempatkan justru guru yang memegang studi B, begitu pun sebaliknya.
Masalah pengembangan tenaga kependidikan dilapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap hadirnya kurikulum yang baru menuntut ada penyesuain dari pendidik, namun memerlukan proses pembekalan pendidik yang cukup memakan waktu. Akibatnya terjadinya kesenjangan antara  dicanangkan berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.
Kemudian beralih ke masalah penggunaan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak effisien bisa diakibatkan antara lain karena kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan kurikulum.
Salah satu contohnya adalah pasca kemerdekaan RI dan dimulainya perkembangan di dunia pendidikan Indonesia terdapat banyak pemborosan dari saran dan prasarana pendidikan. Banyak sekolah terutama SD Inpres yang tidak tepat letaknya dari sekolah tersebut. Gejala lain tentang tidak ada efisiensi dalam penggunaan sarana pendidikan yaitu diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa dibarengi dengan pembekalan kemampuan, sikap dan ketrampilan calon pemakai, ataupun tanpa dilandasi dengan konsep yang jelas.
Perubahan kurikulum sering membawa akibat tidak terpakainya lagi buku paket siswa dan buku pegangan guru besarta perangkat lainnya karena harus diganti dengan buku-buku yang baru.belim lagi terhitung biaya-biaya penataran para pelaksan pendidikan dilapaangan, khususnya guru-guru agar siap melaksanakan kurikulum yang baru.
Semua ini menggambarkan bahwa dibalik pembaharuan terjadi pemborosan, meskipun sukar dielakkan. Sebab bagaimanapun juga pembaharuan kurikulum merupakan tindakan antisisasi terhadap pemberian bekal bagi calon luaran agar sesuai dengan tujuan zaman.
4.     Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti  yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi cukup ideal jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang kerjaan yang ada antara lain sebagai berikut.
a.      Status lembaga pendidikan yang bermacam-macam kualitasnya.
b.      Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran yang siap pakai. Yang ada ialah siap kembang.
c.      Tidak tersedianya peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang digunakan sebagai pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya.

Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan (lembaga yang menyiapkan tenaga kerja) jumlahnya secara kumulatif lebih besar dari pada yang dibutuhkan dilapangan. Sebaliknya ada jenis-jenis tenaga kerja yang dibutuhkan di lapangan kerja kurang di produksi atau nahkan tidak diproduksi. Keadaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


Luaran (produksi tenaga kerja)
(L)

Kebutah tenaga di lapangan
(K)
Keterangan
L
K
Keadaan umumnya lembaga pendidikan

L
K
Beberapa bidang

L=0

K
(sangat membutuhkan)
Bidang tertentu


Jika produksi (L) tenaga dikaitkan dengan kebutuhan (K) dan pengangkatan (P), maka gambaran umumnya adalah sebagai berikut: L>K>P. Artinya jumlah luaran lebih besar dari pada yang dibutuhkan dan jumlah kebutuhan lebih besar dari pada pengangkatan, dengan akibat bahwa setiap tahunnya selalu terjadi penumpukan tenaga kerja yang menunggu pekerjaan. Dapat disimpulkan bahwa masalah relevansi merupakan masalah yang berat untuk dipecahkan, khususnya masalah relevansi kualitas.

Dari keempat macam masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika pendidikan:
1)     Dapat menyediakan kesempatan pemerataan belajar, artinya: semua warga Negara yang butuh dapat ditampung dalam suatu satuan pendidikan.
2)     Dapat mencapai hasil yang bermutu, artinya: perencanaan, pemrosesan pendidikan dapat dicapai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
3)     Dapat  terlaksana secara efisien, artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan tujuan yang ditulis dalam rancangan.
4)     Produk yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan  pembangunan.


Hal tersebut diatas dapat diilustrassikan sebaagai gambar yang tertera berikut ini:


HASIL
PENDIDIKAN
TUJUAN
PENDIDIKAN
RANCANGAN
PENDIDIKAN
RELEVANSI
4
WARGA NEGARA
(masukan mentah pendidikan)
PROSES
PENDIDIKAN
KEBUTUHAN MASYARAKAT
MUTU
2
PEMERATAAN
1
3   EFFESIENSI
Gambar 4.1
 



















C.    SALING KETERKAITAN ANTARA MASALAH-MASALAH PENDIDIKAN
Pada dasarnya pembangunan di bidang pendidikan tentu diinginkan tercapainya pemerataan pendidikan dan juga pendidikan yang bermutu sekaligus. Didalam sejarah terbukti bahwa belum ada suatu Negara yang dari sejak berdirinya mampu melaksanakan dan memenuhi keinginan seperti itu. Lazimnya, yang terjadi ialah pada saat upaya pemerataan pendidikan sedang dilancarkan, maka pada saat yang sama mutu pendidikan belum dapat diwujudkan, malahan sering tertelantarkan.
Ada dua faktor penghambat perbaikan mutu pendidikan yaitu: gerakan perluasan pendidikan untuk melayani pemerataan kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak memerlukan penghimpunan dan pengarahan dana dan daya.  Faktor kedua, kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat demikian mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam kelas terlalu banyak, tenaga pendidik kurang kompeten, sarana yang tidak memadai, dan seterusnya.
Pada dasarnya hal-hal yang menghambat seperti faktor-faktor diatas umunya terjadi pada tahap-tahap awal dari pembangunan suatu bangsa. Pada saat ini kita dapat melihat contoh-contoh seperti yang terjadi pada Negara di beberapa kawasan Afrika. Di Negara kita pasca kemerdekaan perhatian masih dicurahkan pada upaya perluasan pendidikan, dan hingga kini hal tersebut masih dilakukan namun dalam skala yang lebih kecil. Karena peningkatan di bidang mutu pendidikanlah yang sekarang menjadi prioritas utama pemerintah.
D.    FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERKEMBANGNYA MASALAH PENDIDIKAN
     Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan antara lain: perkembangan iptek dan seni, laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan.
1.Perkembangan IPTEK dan Seni
a. Perkembangan IPTEK
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan tentang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara system dan dan terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Hampir setiap inovasi mengundang masalah. Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti membawa hasil. Kita sudah banyak mendapat pengalaman dalam hal ini. Kedua, pada darsarnya orang merasa ragu dan gusar jika menghadapi hal baru. Umumnya lebih suka mengerjakan hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan rutin pada dapat menerima hal baru yang belum dikenal.
Masalahnya iyalah bagaimana cara memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengan dung dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, prinsip-prinsip) dan aspek stuktur oprasional (teknik pelaksanaannya). Kepada masyarakat sasaran perlu dikenalkan aspek konsepsionalnya sehingga memahami tujuan dan manfaatnya, motif yang mendasarnya.
Lazimnya suatu inovasi baru disebarkan setelah lebih dahulu diuji cobakan dalam ruang lingkup terbatas. Masalah pertama muncul padatahap uji coba, karena biasa memakan biaya (contoh PPSP : Perintis Sekolah Pembangunan pada 8 IKIP sekitar tahun 80-an).
Selanjutnya masalah muncul pada tahap penyebar luasan pelaksanaan hasil uji coba (disiminasi). Pada tahap ini masalah mencakup banyak hal. Dana, penyediaan prasarana dan sarana, ketenagaan, kurikulum beserta perangkat penunjangnya dan seterusnya merupakan factor-faktor yang dapat menimbulkan masalah. Bahkan jika seandainya suatu inovasi berhasil, munkin saja menimbulkan masalah baru, misalnya antara lain karena kurang cermatnya rancangan yang dibuat. Contoh Prof. Diploma berhasil dapat memproduksi tenaga guru yang diharapkan, tetapi, berakibat alumni S1 banyak tidak terangkat karena ketiadaan jatah.
b. Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menhasilkan sesuatu hal Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menhasilkan sesuatu hal yan indah.
Berkesenian menjadi kebutuhan hidup manusia. Melalui kesenian maanusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) daan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Seni membutuhkan pengembangan.
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan efektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping domain konigtif yang sudah digarap melalui program atau bidang studi yang lain.
Dilihat dari lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabang telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan memperhatikan alasan-alasan di atas maka sudah seyogyanya jika dunia seni dikembangkan melalui system pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan kualitas seni secara program-program yang lain dalam system pendidikan. Disinilah timbulnya masalah pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting  tetapi di sekolah -sekolah saat ini menduduki kelas dua. Baru terlayani setelah program studi yang lain terpenuhi pelayanannya. Sebabnya disamping kesenian tidak termasuk Ebtanas, juga sulit menyediakan tenaga pendidikan. Lagi pula sarana penunjangnya umumnya tidak tersedia secara menendai karena mahal.
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
 
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal yaitu:
a.  Pertambahan penduduk dan
b.  Penyebaran penduduk

a.  Menurut Emil Salim (Conny R. Semiawan, 1991 : 18)
Pertambahan penduduk gambarannya sebagai berikut:
Dari sekarang hingga abad XXI, terus menerus penambahan penduduk akan terjadi pertambahan jumlah penduduk meskipun gerakan KB berhasil. Sebabnya karena tingkat kematian menurun lebih cepat yaitu sebesar 4,5% dari turunnya tingkat kelahiran yaitu sebesar 3,5%. Hal tersebut juga mengakibatkan berubahnya susunan umur penduduk tentang pertumbuhan penduduk itu Bank Dunia memperkirakan gambaran seperti terlihat pada tabel dibawah ini.

TABEL
PRKIRAAN JUMLAH PENDUDUK
MENURUT BANK DUNIA
PADA PERTENGAHAN ABAD XXI
Tahun
1986
1990
2000
2050
Penduduk
(juta orang)
166
178
207
335

Disadur dari: Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991 :18.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dan ini berarti beban pembangunan nasional menjani bertambah.
Pertambahan penduduk yang di barengi dengan meningkatnya usia rata-rata, penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia Sekolah Dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia lanjutan, ankatan kerja, danpenduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi pergeseran permintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cendrung lebih meningkat disbanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, maka permintaan untuk lanjut ke perguruan tinggi juga meningkat. Khusus untuk penduduk usia tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non formal.
b.  Penyebaran penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh tanah air tidak merata. Ada daerah yang padat penduduk, terutama dikota-kota besar dan daerah yang penduduknya jarang yaitu daerah pedesaan atau pedalaman khususnya didaerah terpencil yang berlokasi di pegunungan. Sebaran penduduk yang tidak merata itu menimbulkan kesulitan dalam penyedian sarana pendidikan. Sebagai contoh adalah dibangunnya SD kecil untuk melayani kebutuhan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Disamping itu juga perlu diperhitungkan adanya arus perpindahan penduduk dari kota ke desa (urbanisasi) yang terus menerus terjadi. Peristiwa ini menimbulkan pola yang dinamis dan labil yang lebih menyulitkan perencanaan penyediaan sarana pendidikan. Pola labil ini juga merusak pola pasaran kerja yang seharusnya menjadi acuan dalam pengadaan tenaga kerja.

3. Aspirasi Masyrakat
Dalam beberapa tahun terakhir ini asprasi masyarakat dalaam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi meningkatnya aspirasi terhadap pendidikan. Orang mulai melihat bahwa untuk dapat hidupyang lebih layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang menopang, dan pendidikan memberikan jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan menetap itu. Pendidikan dianggap memeberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendakian di tangga sosial.
Pekembangan aspirasi tersebut khususnya di bidang pendidikan  menimbulkan beberapa hal yakni salah satunya adalah seleksi penerimaan siswa pada bebagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang obyektif, jumlah murid perkelas menjadi melebihi dari yang semestinya, jumlah kelas disetiap sekolah membengkak, kesempatan belajar bergilir di pagi dan sore hari dengan pengurangan jam belajar, kekurangan sarana belajar, kekurangan guru dan seterusnya. Dampak langsung dan tidak langsung dari kondisi itu adalah terjadinya penurunan kadar efektifitas pembelajaran sehingga sulit diharapkan hasil yang berkualitas. Dengan kata lain, massalisai pendidikan menghambat upaya pemecahan masalah mutu pendidikan. Massalisai pendidikan ibarat perusahaan konveksi pakaian yang hanya melayani tiga macam ukuran (Large, Medium, and Small), sedangkan kebutuhan individual yang khusus tidak terlayani.
Namun demikian tidak berarti bahwa aspirasi terhadap pendidikan harus diredam, justru sebaliknya harus tetap ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang belum maju dan masyarakat didaerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor penggerak roda kemajuan.

4. Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) terhadap masyarakat lain pendukung suatu budaya. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis, mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Tidak ada kebudayaan yang tidak berubah. Berubahnya unsur-unsur kebudayaan kebudayaan itu tidak selalu bersamaan satu sama lain. Ada unsur yang lebih cepat dan lambat laun berubah, namun yang jelas terjadinya perubahan tidak pernah terhenti sepanjang masa, bahkan meskipun perubahan kea rah yang baru itu berunsur negatif. Apalagi pada abad ke-20 ini, dimana perkembangan iptek demikian pesat dan merambah ke seluruh bidang kehidupan.
Perubahan kebudaan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik yang berupa material (peralatan dan transportasi) dan yang bersifat non material (pemahan dan konsep akan hal yang diyakini seperi KB, budaya menabung dan sebagainya). Keterbelakangan budaya terjadi karena:
-     Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (seperti didaerah terpencil).
-     Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budaya baru karena tidak dipahami atau dikhawatirkan akn merusak sendi masyarakat.
-     ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis untuk menyangkut unsur kebudayaan tersebut.

Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
-     Masyarakat daerah terpencil.
-     Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
-     Masyarakat yang kurang terdidik.

Yang menjadi masalah ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan dalam pembangunan., sebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan bagaiman cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat melibatkan mereka. Sebab sistem pendidikan yang tangguh adalah yang bertumpu pada kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional selalu berkembang dengan bertumpu pada intinya sehingga tidak pernah ketinggalan zaman. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat terbelakang kebuayaannya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam pembangunan.
E.     PERMASALAHAN AKTUAL PENDIDIKAN DAN PENANGGULANGANNYA
1.     Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
  Permasalahan aktual pendidikan di Indonesia sangat kompleks dan semakin berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan kemapanan sumber daya manusia. Masalah aktual tersebut ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Perlu dipahami bahwa tidak semua masalah aktual tersebut merupakan masalah baru, bahkan ada yang sudah sangat lama. Sudah sejak lama aktual tersebut sepakat untuk diatasi, tetapi dari tahun ke tahun hasilnya belumlah memberikan perubahan atau bahkan malah diam ditempat. Adapun masalah-masalah tersebut antara lain:
a.      Masalah Keutuhan Pencapaian sasaran
Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci didalam GBHN 1993 butir 2a,b, tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud manusia utuh itu adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan vertikal (dengan Tuhan Yang Maha esa), horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris (dengan dirinya sendiri; yang berkembang antara duniawi dan ukrawi. Namun didalam pelaksanaannya pendidikan afektif belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah pada pengutamaan pengembangan aspek kognitif. Pengembangan daya fikir dinomor satukan, sedangkan pengembangan perasaan dan hati terabaikan. Padahal pengembangan perasaan dan hati adalah agar dapat memahami nilai-nilai, tidak cukup hanya berkenalan dengan nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan mengalami peserta didik di buka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, penghargaan diri terhadap waktu dan atasan kerja, kegairahan didalam belajar, kedisplinan, kesetia kawanan sosial, dan semangat kebangsaan.
Masalahnya, apakah sistem pendidikan kita memberi peluang demi terjadinya pengalaman-pengalaman tersebut. Kelitahannya banyak hambatan yang harus dihadapi antara lain:
1) Beban kurikulum yang terlalu sarat.
2) Pendidikan afektif sulit diprogramkan secara eksplisit, karena dianggap bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang terlaksananya sangat tergantung pada kemahiran dan pengalaman guru. Jika terjadi perubahan tingkah laku afektif maka semata-mata adalah hasil atau dampak dari proses pengiring dan bukan dampang langsung dari proses proses pembelajaran yang didesain.
3) Pencapaian hasil pendidikan afektif memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran dari pendidik.
4) Menilai pendidikan afektif tidak mudah. Bahkan jika ingin berhasil, juga membutuhkan biaya. Misalnya jika menginginkan suatu pembelajaran itu efektif, seorang guru memberikan tugas membuat suatu karya, maka hal tersebut memberikan beban biaya yang lebih kepada murid.

Maka disinilah letak masalahnya jika sasaran pendidikan yang utuh ingin dicapai.

b.      Masalah Kurikulum
Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Yang menjadi sumber masalah ini ialah bagaimana sistem pendidikan dapat membekali peserta didik untuk terjun kelapangan kerja (bagi yang tidak melanjutkan sekolah) dan memberikan bekal dasar yang kuat untuk ke Perguruan Tinggi (bagi yang ingin melanjutkan). Konsep terbut memang bagus secara teoritis, namun pelaksanaannya mengundang banyak masalah. Titik rawan yang timbul antara lain bagaimana mempersiapkan para pelaksana dan Pembina pendidikan dilapangan khususnya guru agar mampu melaksanakan ketrampilan proses dalam pembelajaran. Ini bukan persoalan yang mudah, karena merupakan soal perubahan sikap dan kketrampilan dalam pembelajaran. Pembenahannya memerlukan penataran, penyuluhan, bimbingan secara kontinu dari para Pembina pendidikan serta tenaga ahli, kesemuanya itu berarti beban biaya.
Kemudian konsep tentang ko dan ekstra kita disamping yang kurikuler secara terpadu dan terprogram adalah pula konsep yang bagus dan mendasar karena disamping mengkaitkan kualitas pendidikan afektif juga menghilangkan tembok pemisah antara sekolah dan masyarakat yang selama ini membelenggu sekolah sehingga asing dari masyarakatnya.
Sekalipun demikian tetap disadari bahwa pelaksanaanya tidak mudah dan cukup rumit.  Kerumitan-kerumitan iti antara lain:
-     Pemilihan materi yag tepat di suatu daerah (materi muatan lokal).
-     Penyusunan program (disajian secara monolitik atau integratif), juga menentukan pihak-pihak yang telibat dalam pelaksanaannya, dari dalam maupun dari luar lingkungan sekolah (masyarakat).
-     Koordinasi peaksanaan.
-     Penyediaan sarana, fasilitas, dan biaya.

Semuanya itu memerlukan dan menuntut trampilan dari para pelaksana dan pembina pendidikan dilapangan yang harus bergerak sebagai tim dngan ditunjang kemauan yang bear sebagai tekad bersama.
Hambatan yang besar ialah pemecahan terhadap konsep tesebut bahwa memasyarakatkan dikalangan para pelaksana pendidikan dilapangan.


c.     Masalah Peranan Guru
Dewasa ini berkat perkembangan iptek yang demikian pesat bahkan merevolusi, sejak abad ke-19, bagi seorang guru tidak mungkin lagi menguasai seluruh khasanah ilmu pengetahuan walau dalam bidangnya sendiri yang ia tekuni. Guru hanya mendudukkan dirinya hanya sebagai sebagian dari sumber belajar. Beraneka ragam sumber belajar justru dapat ditemukan di luar diri guru seperti perpustakaan, taman bacaan, museum, took buku, berbagai media massa, lembaga-lembaga sosial, kebun binatang, alam, dan lingkungan disekitar lainnya. Sebagaimana Comenius pernah mengingatkan bahwa alam ini adalah buku besar yang sangat lengkap isinya.
Selain itu juga hadirnya sejumlah konselor di lingkungan sekolah seperti petugas perpustakaan, laboran, toolman, guru BP/BK dan sebagainya semakin meminimalisir peran seorang guru. Namun ini tidak berarti guru kehilangan fungsinya, justru sebaliknya fungsinya bertambah banyak hanya bergeser ke arah lain. Adapun kecukupan waktu dimiliki oleh guru dapat dimanfaatkan seperti untuk:
-   Melakukan kontak dan pendekatan manusiawi lebih intensif dengan murid-muridnya. Pelayanan kelompok dan individual dalam bentuk memperhatikan kebutuhan individual/kelompok, mendorong mendorong untuk maju dan kreativitas dan kerjasama, menumbuhkan rasa percaya diri, harga diri dan tanggung jawab, penghargaan terhadap waktu dan kedisiplinan, penghargaanterhadap orang lain dan penemuan jati diri. Inilah sisi pendidikan dari tugas seorang guru yang telah lama terabaikan. Dari sisi pelajaran ia diharapkan mampu mengelola proses pembelajaran (sebagai manager), menunjukkan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan pembelajaran (organisator), mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran pembelajaran (koordinator), mengkomunikasikan murid dengan berbagai sumber belajar (komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan kemudahan belajar (fasilitator), memberikan doronganbelajar (stimulator).

Dalam hubungan multi peran guru seperti di kemukakan diatas, maka masalah yang timbul ialah bagai mana guru dapat melakukan multi peran seperti itu jika pada kebanyakan sekolah mereka adalah pejuang tunggal. Kalaupun seandainya ia sudah didampingi oleh petugas yang lain seperti konselor dan lain-lain itu sudahkah ia memiliki wawasan dan kemampuan yang cukup untuk melaksanakan multi perannya itu. Keyataan menunjukkan bahwa kenyataan guru belum siap untuk berbuat demikian.


d.     Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun
Dilihat dri segi lamanya waktu belajar pada pendidikan dasar yaitu 9 tahun(yang ditetapkan dalam GBHN 1993 butir 2c dinyatakan sebagai pelaksanaan wajib belajar 9 tahun), kita sudah mengalami langkah maju dibanding masa-masa sebelumnya yang menetapkan wajib belajar hanya 6 tahun yaitu sampai tingkat SD. Secara konseptual dan acuan yang diberikan oleh ketetapan-ketetapan resmi tersebut sudah sejalan dengan kebutuhan pembangunan antara lain:
-   Untuk memasuki Perguruan Tinggi diperlukan sumber daya manusia yang lebih berkualitas (kemampuan masukan mentah)
-   Pendidikan dasar akan memperkuat fungsinya sebagai akar tunjang yang menunjang kualitas proses pendidikan pada jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang selama ini posisinya sangat lemah.
-   Persyaratan kerja yang dituntut di dunia kerja semakin meningkat sehingga dengan basis dasar pendidikan 9 tahun tentunya lebih baik dari pada 6 tahun.
Dalam pendidikan dasar 9 tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatannya. Diantaranya adalah:
1)      Kurikulum yang dipergunakan harus segera dilaksanakan dan ditetapkan, kemudian harus dibarengi dengan sarana penunjang lainnya.
2)      Pada masa transisi para pelaksana pendidikan dilapangan perlu disiapkan melalui bimbingan-bimbingan, penyuluhan, penataran dan lain-lain.
Hambatan lain tentunya datang dari masyarakat, utamanya dari orang tua/kalangan yang kurang mampu. Mereka mumgkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus membiayai anaknya lebih lama. Padahal tidak dapat berharap banyak dari anaknya untuk segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.
2.     Upaya Penanggulangan
  Beberapa upaya dilakukan untuk menanggulangi masalah masalah aktual tersebut, diantaranya:
a) Pendidikan efektif perlu ditingkatkan secara terprogram, tidak cukup hanya secara incidental. Pendekatan ketrampilan proses yang sudah disebar luaskan konsepnya perlu ditindak lanjuti dengan menyebarkan buku panduannya kepada sekolah-sekolah. Dalam hubungan ini pelaksanaan pendidikan kesenian perlu diberikan perhatian khusus sehingga tak menjaddi pelajaran kelas dua.
b) Pelaksanaan kegaitan kurikuler dan ekstrakurikuler dilakukan dengan penuh kesungguhan dan diperhitungkan dalam penentuan nilai akhir ataupun kelulusan.
c) Melakukan penyusunan yang mantap terhadap potensi siswa melalui keragaman jenis program studi.
d) Memberi perhatian terhadap tenaga kependidikan(prajabatan dan jabatan), pendaya gunaan sumber belajar yang beraneka ragam juga harus semakin ditingkatkan. Dimana upaya ini menjadi tanggung jawab kepala sekolah, guru, dan teknisi sumber belajar.
e) Untuk pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun, apalagi jika dikaitkan dengan gerakan wajib belajar, perlu diadakan penelitian secara meluas pada masyarakat untuk menemukan faktor penunjang  dan terutama faktor penghambatnya.

Kepada masyarakat luas perlu diberikan informasi yang sifatnya memperjelas dan persuasif tentang makna dari pendidikan dasar. Kemudian realisasi pelaksanaan pendidikan dasar tersebut harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar